Sebagai anak gang di salah satu wilayah padat di Jakarta,
menjadi penggemar Iwan Fals adalah sebuah keniscayaan. Sama seperti dengan
bermain bola. Sebuah kelaziman. Tiap malam Minggu (atau kadang tiap malam)
menjeritkan lagu lagu Iwan Fals adalah kewajiban yang dijalankan dengan rutin.
Tapi rutinitas seperti kadang membuat daya apresiasi
melembek. Mejadi asal suka saja tanpa menyelami makna. Lagu lagu macam “Kembang
Pete”, “Amulan Zig Zag”, Ujung Aspal Pondok Gede” dan lain lain jadi ‘kaluar
masuk kerongkongan tanpa mencolek hati. Namum tidak dengan lagu ini.
Sebuah lagu kritik super yang mengstup kembali antenna
kritis orang. Membuat orang jadi tersadar kembali betapa music dan lagu adalah
medium yang bisa di pakai untuk kebajikan kemanusiaan. Untuk membuat kita
selalu berani bersikap berani.bahkan bila yang dihadapi itu adalah sebuah
institusi bernama Negara.
Lagu ini berbeda dengan lagu kritik social lainnya, yang
biasanya berisi cerita spesifik rakyat kecil, karena hal diatas tadi. “Wakil
Rakya” menyerang langsung Negara. Menguliti lembaga. Menonjok system. Tanpa
tedeng aling aling. Tanpa metafora. Tapi tetap terasa datang dari suara arus
bawah. Gugatannya tidak membuat lagu ini menjadi barang seni yang elitis atau
asyik sendiri.
Konon itulah puncak dari karya protes sejati. Dalam
sekaligus luas. Karena hampir semua
orang jadi merasa lebih terwakili oleh lagu ini di banding anggota dewan
pilihan mereka sendiri.
Dan ketika puluhan tahun kemudian, pascareformasi, masuk
kedalam gedung parlemen yang terhormat, menyaksikan sebuah undang undang buruk
disyahkan oleh kursi kursi yang diisi belasan anggota dewan saja, hati saya
masih spontan menyanyikan lagu ini. (rolling)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar